Rabu, 23 September 2020

Posted by Yahya On Rabu, September 23, 2020


Februari, 2014. Udara dingin menghilang di kota ini, seperti kisah masa lalu kini membisu.

Begitulah setibanya pulang dari negeri sakura yang penuh kedamaian. Pulang  ke tanah kelahiran diusik dengan rasa “tidak percaya”,  ini Indonesia? Padahal dahulunya “ini Japan sungguhan?”. Tanda tanya besar masih bertengger di atas kepala kami. Rasanya masih ingin bermain salju, jalan kaki ditemani salju, memegang salju, foto-foto, lempar-lemparan salju, seluncur di atas es (salju), naik kereta bawah tanah, beli barang-barang dan makanan di toko 100 yen (10 ribu rupiah), beli pakaian seharga 30-50 ribu rupiah (padahal jika di Indonesia bisa sampai 200 ribu/ lebih malahan). Menikmati sarana dan prasarana yang semuanya menggunakan teknologi sensor, menikmati nyamannya kota setempat tak ada krimnal (copet, bandet, pedet atau apalah itu namanya), dan mendengar orang Thailand berbicara (sudehap, hap, lunglung, tung lung, lutung blas tung pleng, tak paham maksudnya). Bercanda dan berbagi pengalaman bersama keluarga Suko dan mahasiswa-mahasiswa hebat lainnya serta bisa mendengar lagi wejangan guru saya yang paling aneh, Phoe Prehantoro dan masih banyak lagi.

Hokkaido (The Bless Island), pulau unik yang diselimuti hamparan salju putih yang lembut. Dihuni masyarakat yang ramah-ramah, jujur, tanggung jawab, professional dalam bekerja, disiplin, tidak korup, selalu ikhlas dan antusias dalam membantu orang, dan sebagainyaMereka memang bukanlah orang islam, dan bisa dibilang mereka tidak beragama, namun ketika melihat budaya (perilaku sehari-harinya), mereka bagaikan islam yang sesungguhnya. Teringat suatu ketika saat membeli makanan di sebuah toko, kami bingung apakah ini halal atau haram, cacat atau tidaknya (maklum tulisannya Japan semua). Kami bertanya “maaf kami islam, apakah makanan ini halal? Dengan ramahnya petugas itu mengatakan “maaf ini tidak boleh dibeli oleh orang islam, ini haram karena mengandung minyak babi, tolong cari yang lain saja” dan satu lagi “maaf makanan ini cacat jadi jangan dibeli, pilih yang lainnya (padahal cuma lecet). Subhanallah bener-bener teruji kejujurannya. Mereka rela bangkrut dan tidak dibeli makanannya demi kenyamanan dan kesehatan konsumennya. Tidak tahu kalau Indonesia (maaf).

Cerita kedua, kala itu kami bingung mencari suatu lokasi di stasiun kereta, ada sosok perempuan muda (petugas) yang menghampiri kami, “ada yang bisa saya bantu? (sembari tersenyum). Wahaha senyuman orang Japan memang manis-manis sedap. Dengan antusiasnya dia membantu mencari lokasi yang kami maksud. Dia tidak hanya menunjukkan tangan kearah lokasi, namun juga menuntun kami hingga benar-benar sampai tujuan. Kalau di Indonesia beberapa masih nunjukin saja dan disertai wajah cuek. Selanjutnya kami juga ditunjukkan oleh saudara kami betapa profesionalnya orang Jepang bekerja, selalu menundukkan badan untuk menghormati atasannya, tidak pernah mengeluh walaupun gajinya sedikit (tak sebading dengan kerja kerasnya), mereka selalu merasa cukup dan ikhlas. Di Indonesia? I don’t know.


Ini nih yang membuat kami terkesan, orang Jepang sudah terbiasa tidak mengambil barang orang lain yang jatuh. Kala itu ada sebuah barang (topi mungkin) jatuh di tengah-tengah jalan, uniknya tak ada satu orang pun mengambilnya, mereka justru berjalan menghindari topi tersebut (jangankan topi, HP ditaruh di jalanan pun tidak bakal diambil). Setelah ditelaah ternyata orang Japan dari kecilnya sudah dididik berperilaku baik, salah satunya ya itu tadi “tidak diperbolehkan mengambil barang orang lain yang jatuh, karena kemungkinan orang tersebut akan kembali lagi untuk mengambil barangnya”. Jika ini di Indonesia pasti langsung dicomot, tidak peduli siapa yang punya.

Karakter-karakter orang Jepang memang tidak diragukan lagi, karena pendidikan karakter yang ditanamkan memang kuat, ketika di PAUD/TK hanya diajarkan cara berperilaku baik serta bermain saja, selebihnya tidak. Keluarganya pun juga mendukung (jika ingin anak yang baik, maka keluarga juga harus baik), pendidikan keluarga memang dikedepankan. Kalau di Indonesia saya rasa tidak seperti itu, sangat berbeda. Jika di PAUD/TK diajarkan kebaikan, di keluarganya tidak, masih ada banyak keluargaa yang bertingkah semaunya sendiri, menginginkan anak yang baik tapi orang tua tidak mampu memberi contoh yang baik. Buktinya bisa dilihat banyak anak Indonesia yang kelakuannya melenceng. Lihatlah disekeliling, berita-berita, bukankah begitu?

Ini hanya sekelumit cerita dari negeri matahari, sebenarnya masih banyak lagi.

 

Emm…, Japan, bisakah saya kesana lagi? Semoga cerita lama ini bisa terulang kembali, entah kapan pun itu. Miss U.






 

0 comments:

Posting Komentar