Februari, 2014. Udara
dingin menghilang di kota ini, seperti kisah masa lalu kini membisu.
Begitulah setibanya pulang dari negeri sakura
yang penuh kedamaian. Pulang ke tanah kelahiran diusik dengan rasa “tidak
percaya”, ini Indonesia?
Padahal dahulunya “ini Japan sungguhan?”. Tanda tanya besar masih bertengger di
atas kepala kami. Rasanya masih ingin bermain salju, jalan kaki ditemani salju,
memegang salju, foto-foto, lempar-lemparan salju, seluncur di atas es (salju),
naik kereta bawah tanah, beli barang-barang dan makanan di toko 100 yen (10
ribu rupiah), beli pakaian seharga 30-50 ribu rupiah (padahal jika di Indonesia
bisa sampai 200 ribu/ lebih malahan). Menikmati
sarana dan prasarana yang semuanya menggunakan teknologi sensor, menikmati
nyamannya kota setempat tak ada krimnal (copet, bandet, pedet atau apalah itu namanya), dan mendengar orang Thailand berbicara
(sudehap, hap, lunglung, tung lung, lutung blas tung pleng, tak paham maksudnya). Bercanda dan berbagi pengalaman bersama
keluarga Suko dan mahasiswa-mahasiswa hebat
lainnya serta bisa mendengar lagi wejangan guru saya yang paling aneh, Phoe Prehantoro dan masih banyak lagi.
Hokkaido (The Bless Island), pulau unik yang diselimuti hamparan salju putih yang lembut. Dihuni masyarakat yang ramah-ramah, jujur, tanggung jawab, professional dalam bekerja, disiplin, tidak korup, selalu ikhlas dan antusias dalam membantu orang, dan sebagainya. Mereka memang bukanlah orang islam, dan bisa dibilang mereka tidak beragama, namun ketika melihat budaya (perilaku sehari-harinya), mereka bagaikan islam yang sesungguhnya. Teringat suatu ketika saat membeli makanan di sebuah toko, kami bingung apakah ini halal atau haram, cacat atau tidaknya (maklum tulisannya Japan semua). Kami bertanya “maaf kami islam, apakah makanan ini halal? Dengan ramahnya petugas itu mengatakan “maaf ini tidak boleh dibeli oleh orang islam, ini haram karena mengandung minyak babi, tolong cari yang lain saja” dan satu lagi “maaf makanan ini cacat jadi jangan dibeli, pilih yang lainnya (padahal cuma lecet). Subhanallah bener-bener teruji kejujurannya. Mereka rela bangkrut dan tidak dibeli makanannya demi kenyamanan dan kesehatan konsumennya. Tidak tahu kalau Indonesia (maaf).
Cerita kedua, kala itu kami bingung mencari suatu lokasi di
stasiun kereta, ada sosok perempuan muda (petugas) yang menghampiri kami, “ada
yang bisa saya bantu? (sembari tersenyum). Wahaha senyuman orang Japan memang
manis-manis sedap. Dengan antusiasnya dia membantu mencari lokasi
yang kami maksud. Dia tidak hanya menunjukkan tangan kearah lokasi, namun juga
menuntun kami hingga benar-benar sampai tujuan. Kalau di Indonesia beberapa
masih nunjukin saja dan disertai wajah cuek. Selanjutnya kami juga ditunjukkan
oleh saudara kami betapa profesionalnya orang Jepang bekerja, selalu
menundukkan badan untuk menghormati atasannya, tidak pernah mengeluh walaupun
gajinya sedikit (tak sebading dengan kerja kerasnya), mereka selalu merasa
cukup dan ikhlas. Di Indonesia? I don’t know.
Ini nih yang membuat kami terkesan, orang
Jepang sudah terbiasa tidak mengambil barang orang lain yang jatuh. Kala itu
ada sebuah barang (topi mungkin) jatuh di tengah-tengah jalan, uniknya tak ada
satu orang pun mengambilnya, mereka justru berjalan menghindari topi tersebut
(jangankan topi, HP ditaruh di jalanan pun
tidak bakal diambil). Setelah ditelaah ternyata orang Japan dari kecilnya
sudah dididik berperilaku baik, salah satunya ya itu tadi “tidak diperbolehkan
mengambil barang orang lain yang jatuh, karena kemungkinan orang tersebut akan
kembali lagi untuk mengambil barangnya”. Jika ini di Indonesia pasti langsung
dicomot, tidak peduli siapa yang
punya.
Karakter-karakter orang Jepang memang tidak
diragukan lagi, karena pendidikan karakter yang ditanamkan memang kuat, ketika
di PAUD/TK hanya diajarkan cara berperilaku baik serta bermain saja, selebihnya
tidak. Keluarganya pun juga mendukung (jika ingin anak yang baik, maka keluarga
juga harus baik), pendidikan keluarga memang dikedepankan. Kalau di Indonesia
saya rasa tidak seperti itu, sangat berbeda. Jika di PAUD/TK diajarkan
kebaikan, di keluarganya tidak, masih ada banyak keluargaa yang bertingkah
semaunya sendiri, menginginkan anak yang baik tapi orang tua tidak mampu
memberi contoh yang baik. Buktinya bisa dilihat banyak anak Indonesia yang
kelakuannya melenceng. Lihatlah disekeliling, berita-berita, bukankah begitu?
Ini hanya sekelumit cerita
dari negeri matahari, sebenarnya masih banyak lagi.
Emm…, Japan, bisakah saya kesana lagi? Semoga cerita lama ini bisa terulang kembali, entah kapan pun itu. Miss U.